02 Aug Pameran Se-Yogya-nya, Tenggara Art Exhibition
seYOGYAnya
Kelompok Tenggara
Sebuah pameran yang digagas oleh seniman merupakan penanda bagi keberadaan maupun proses yang telah dilalui–Seberapa banyak hal yang
didapatkan dan seberapa jauh mengolahnya, dari sisi rupa (visual) akan terlihat pada kematangan mengolah media atau bahan–sehingga mampu
menampilkan karya yang mengundang pujian, membuat kening berkerut atau bahkan umpatan audiens karena kekaguman. Semua itu menjadi cara
pandang seseorang terhadap dunia dalam diri yang terhubung dengan dunia luar. Dalam lingkungan yang penuh sesak dengan seniman, hal itu
seolah menjadi perlombaan tanpa garis akhir.
Di sisi lain, ada tanggung jawab seorang seniman untuk menampilkan kedewasaannya dalam memandang kehidupan. Secara pribadi akan muncul
pertanyaan tentang keberadaan diri, tujuan berkarya maupun proses mewujudkan gagasannya. Sehingga sebuah karya seni yang ditampilkan,
tidak hanya sebuah benda dengan nilai keindahan tertentu. Karya merupakan lubang untuk mengintip seorang seniman dalam memahami hidup.
Kejujuran mungkin menjadi kunci bagi keselarasan antara perjalanan, kedewasaan dan karyanya.
Lingkungan juga merupakan bagian penting yang mempengaruhi cara pandang terhadap seni sebagai karya maupun seni sebagai kehidupan.
Lingkungan diartikan luas sebagai masyarakat dan alam tempat tinggal, termasuk cerita masa lalu yang mempengaruhi secara tidak langsung.
Lingkungan pertemanan juga andil dalam membentuk cara pandang berkesenian. Dari beberapa hal tersebut, kelompok Tenggara berusaha
mengungkap kesadaran tentang tujuan berkarya. Setiap anggota sepakat menggunakan “seYOGYAnya” sebagai tema pameran di Jogja Galeri ini.
Seyogyanya adalah Kesadaran
Pameran ini dimulai oleh kesadaran terhadap perjalanan yang telah dilalui dan memberikan banyak pengalaman. Seyogyanya dapat diartikan
sebagai sebuah ikatan antara masing-masing individu dengan keberadaan Yogyakarta. Tempat mereka belajar tentang seni rupa dan seni
kehidupan. Memahami dunia seni rupa tidak hanya terkait sebagai tempat pendidikan seni, namun juga lingkungan yang selalu menjaga semangat
berkarya. Hal tersebut menarik ingatan tentang awal berkesenian dan kemurnian tujuannya. Kata awal dimaknai oleh Tenggara sebagai kelahiran
masing-masing dari mereka di dunia seni. Sehingga Yogya dapat dikatakan sebagai ibu dari kelompok Tenggara.
Seyogyanya juga berarti sebaiknya atau seharusnya, yang bagi Tenggara dapat mewakili keinginan introspeksi. Melihat lebih dalam kepada pribadi
masing-masing, apa yang telah didapatkan dan dihasilkan, juga pertanyaan tentang taraf dan jumlah pencapaian dalam berkesenian. Kesadaran
terhadap waktu yang membatasi setiap manusia, baik dari keberadaan maupun kemampuan tubuhnya, menjadikan ini kesempatan untuk berhenti,
sejenak menjadikan kelompok tidak lagi terasa hiruk-pikuk. Masing-masing diajak melihat diri sendiri, kemudian menguatkan lagi tujuan awal
berkesenian.
Dari pembahasan diatas itulah pemikiran tentang tema “seYOGYAnya” dipastikan menjadi kesepakatan bersama. Seyogyanya dimaknai sebagai
kesadaran terhadap proses yang telah dilalui, kemudian berusaha kembali kepada spirit berkesenian murni. Dapat juga diartikan seharusnya
seniman (Tenggara) kembali kepada “ibu” atau kemurnian tujuan berkarya. Walaupun kemurnian yang seperti dahulu tidak mungkin didapatkan
kembali, tetapi cukup dengan keberanian untuk mencoba. Banyaknya persaingan dan beratnya tanggung jawab di luar seni, terkadang
mengganggu proses berkarya. Keinginan agar karya kembali murni sebagai media untuk menyampaikan pemikiran, bukan hanya sebagai penarik
“perhatian”.
Kesadaran terhadap “seYogyanya” inilah yang dijadikan semangat untuk membuat karya yang dipamerkan. Masing-masing seniman mencari
hubungan yang sangat pribadi, antara diri dan karyanya. Setiap karya menjadi bahasa kejujuran untuk mengungkapkan ide gagasan. Setiap karya
mempunyai cerita yang saling berkaitan antara pengalaman hidup, proses berkesenian, dan kemampuan memaksimalkan sumber daya yang ada.
Sorry, the comment form is closed at this time.